Tag

, , , ,

Yon Moeis
Wartawan Tempo

Entah mengapa wartawati itu–sebut saja namanya Kinanti–begitu alergi mendengar nama Bambang Pamungkas. Reporter televisi yang suka memainkan bola-bola matanya itu begitu sewot ketika ada yang mencoba mengungkap kembali pengalamannya. “Nggak lagi deh gue minta waktu wawancara dia,” katanya.

Kinanti bukan satu-satunya wartawan yang beruntung ketika hendak meminta komentar Bambang seusai bertanding. Bambang–kelahiran Salatiga, 10 Juni 1980–begitu sering menolak wawancara. Bahkan ada wartawan senior yang dia lewati sambil mengangkat sebelah tangan. Kondisi ini tentu saja tidak membuat para wartawan antusias menulis Bambang ketika mencetak gol ke-100-nya saat Persija melawan PSIS Semarang di Stadion Utama Gelora Bung Karno, Minggu lalu.

Mei lalu, misalnya, Bambang langsung ngeloyor setelah tim nasional bertanding melawan Bayern Muenchen di Stadion Utama Gelora Bung Karno. Padahal ada wartawan yang sudah mempersiapkan pertanyaan setelah dia membobol gawang klub raksasa Jerman itu, sekalipun hanya dari titik penalti. “Apa pun komentar dia pasti bagus,” kata wartawan yang merasa tidak diladeni Bepe, panggilan Bambang. Dia, tentu saja, sangat kecewa.

Bambang adalah bintang sepak bola kita. Dia sudah mewarnai kompetisi dengan aksi-aksinya. Sundulannya sangat dinanti. Setiap Persija tampil, di Stadion Lebak Bulus, di Stadion Utama Gelora Bung Karno, atau di mana pun tim Macan Kemayoran melakukan laga tandang, Bambang sangat diharapkan bisa mencetak gol.

Bambang kini tak sekadar pemain sepak bola. Dia sudah menjadi selebritas. Bayarannya sudah mencapai Rp 1,5 miliar. Dia sudah menjadi lelaki pesolek. Pakaian yang dia pakai semua bermerek: Nike, Zara, Top Man, Lacoste, dan Burberry. Semua pakaian itu, dari hasil riset, memiliki harga berkisar Rp 500 ribu lebih atau hampir mencapai angka satu juta rupiah tiap potongnya. Parfum yang menebar wewangian dari tubuhnya adalah Thierry Mugler for Man. Kendaraan sehari-harinya adalah Honda Stream berwarna hitam bernomor polisi B-3-PE. Kenyataan-kenyataan seperti yang pernah dia tulis, “Jangan pernah berhenti untuk bermimpi, karena mungkin suatu saat nanti mimpi kalian akan menjadi kenyataan.”

Di berbagai kesempatan, Bambang terlihat mengutamakan penampilannya. Ia akan segera menyulap pakaian sepak bola yang biasa ia kenakan menjadi sebuah setelan jas mahal. “Bepe memang terkenal mewah jika berdandan dan berpakaian. Itu mungkin yang menunjukkan dia adalah pemain mahal,” kata asisten manajer Persija Jakarta, Ferry Indrasjarief.

Saya beruntung tak punya pengalaman pahit bersama Bambang. Saya pernah melihat Bambang–dari pinggir lapangan–ketika dia memperkuat tim nasional di SEA Games Vietnam 2003. Waktu itu, di Stadion Thien Truong, Nam Dinh, tim nasional dibantai Thailand 0-6. Pasukan yang ditukangi Serghei Dubrovin itu gagal ke semifinal setelah digebuk Vietnam 0-1 sebelumnya.

Sebenarnya, saya sangat berharap Bambang membawa tim nasional ke final SEA Games, arena terakhirnya di pesta olahraga Asia Tenggara itu. Tapi Bambang terlihat sibuk mengangkat kaki ketimbang menusuk jantung pertahanan lawan. Tim nasional gagal menembus semifinal dan pulang lebih cepat. Belakangan, saya tahu dia memperkuat Persija di Piala Emas Bang Yos di Jakarta ketika SEA Games masih berlangsung. “Kalau saja tim nasional ke final, tentu saja dia tak main di Piala Bang Yos,” kata seorang rekan.

Kemudian saya mencoba mengenal Bambang lebih jauh lewat tulisan yang dia tuang di situs pribadinya, http://www.bambangpamungkas20.com. Dia sangat cerdik dan jujur dalam bertutur. Dia tak malu mengatakan menumpang bus Raya Indah dari Terminal Salatiga menuju Lebak Bulus ketika mengawali karier menjadi pemain sepak bola profesional, sembilan tahun lalu. Waktu itu, menurut Bambang, dia memakai jam tangan Guess palsu.

Saya mencoba memahami jalan pikiran ayah tiga putri itu untuk tak banyak berurusan dengan media. Dia boleh saja kecewa dengan media olahraga yang mengutip komentarnya, lantaran dia merasa tak pernah diwawancarai. Dia boleh saja memilih untuk tidak berteman dengan wartawan. Namun, dia tak boleh menutup pintu rapat-rapat untuk pers. Dia harus sadar bahwa dirinya adalah “barang dagangan” dan harus punya lapak untuk “menjual” diri.

Bukankah orang yang bernama Bambang Pamungkas itu saat ini sedang bermimpi?

(Koran Tempo, Minggu, 14 September 2008, Ilustrasi Gaus Surahman)