Tag

, , , , , , ,

Yon Moeis
Wartawan Tempo

Jika Ketua Umum Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia Nurdin Halid berkehendak, tak seorang pun boleh menghalanginya. Ini sudah terbukti ketika NH, begitu Nurdin Halid bisa disebut, kembali memimpin PSSI hingga 2011. Di Hotel Clarion, Makassar, akhir April lalu, Nurdin terpilih secara aklamasi. Dan tak seorang pun boleh menghalanginya.

Terpilihnya Nurdin dengan tanpa lawan itu jelas sebuah bentukan kehendak yang, tentu saja, sudah dirancang jauh-jauh hari. Ia maju dan melangkah dengan mulus. Padahal jika saja Nurdin kembali tarung di ujung kepengurusannya (2003-2007) pada Oktober mendatang, saya yakin, siapa pun lawannya, dia masih bisa menang.

Pemilihan yang berawal dari usul tanpa pemungutan suara itu membuat hambar musyawarah nasional luar biasa, atau lebih dikenal dengan pestanya orang-orang bola tersebut. Setiap kali ada pemilihan ketua umum yang baru, setiap kali itu pula ada goresan sejarah yang dicatat dalam perjalanan sepak bola nasional. Tapi sekali lagi, mungkin hanya kali ini saja, tak seorang pun boleh menghalanginya. Sekalipun Nurdin, dengan entengnya, mengatakan pemilihan ini lebih demokratis.

Sebelum Nurdin kembali (ingin) menjadi orang nomor satu di tubuh organisasi tertinggi sepak bola nasional itu, dia pernah mengungkapkan mimpi-mimpinya. Sepak bola, katanya suatu ketika, adalah ilusi. Sesuatu yang hanya di angan-angan.

Nurdin Halid, setelah menjabat PSSI-1 pada Oktober 2003, hidupnya lebih banyak dihabiskan di Salemba. Ini membuat Nurdin Halid, yang saya tahu lebih rasional itu, menjadi sangat ilusif. Dari balik jeruji penjara, ia biarkan isi kepalanya ke mana-mana. Sehingga kelak ia menemukan sebuah perjalanan panjang hingga 2020.

Jauh-jauh hari sebelum ia memperpanjang napas di PSSI lewat pemilihan tanpa pemungutan suara itu, Nurdin ingin ada sosialisasi Visi 2018–yang merupakan penyempurnaan dari blueprint 2020.

Terus terang saya terlalu bodoh untuk memahami Nurdin Halid terhadap proyek-proyek ini. Saya pasti setuju bahwa kita ingin tim nasional Indonesia ikut Piala Dunia di mana dan tahun kapan pun. Tapi, tidak bermaksud mengajak siapa pun untuk tidak optimistis, siapa sih sebenarnya kita?

Jika Piala Dunia 2010 di Afrika dan 2014 di Brasil (satu-satunya calon dari Amerika Latin), apa mungkin Piala Dunia 2018 digelar di Jakarta? Mungkinkah pesta paling heboh di dunia itu kembali ke Asia? Sungguh sulit saya membayangkannya, sekalipun hanya sekadar menerapkan ilusi.

Kota Makassar tak lagi terasa hangat. Saya sempat menoleh ke belakang sejenak ketika hendak menuju pesawat yang akan meninggalkan Bandara Hasanuddin. Kalimat-kalimat seperti “pencanangan kebangkitan gerakan sepak bola nasional menuju pentas dunia”, “mendorong terciptanya industri sepak bola”, serta “blueprint menyongsong 2020 dengan target sepak bola Indonesia masuk pentas dunia Olimpiade dan Piala Dunia” terus mengiang-ngiang.

Saya akan mencoba memahami mimpi-mimpi ini untuk tidak membangunkan Nurdin Halid dari tidurnya. Saya justru lebih berkesan ketika Nagabonar (Nagabonar Jadi 2) berkehendak sebuah lapangan sepak bola di tengah-tengah proyek besar anaknya, Bonaga. Ia, Nagabonar, bicara dengan hati.

(Koran Tempo, Minggu, 6 Mei 2007)