Tag

, , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , ,

Yon Moeis
Wartawan Tempo

taufik-hidayat2Keringat Taufik Hidayat untuk sementara belum menetes di Cipayung. Peraih medali emas Olimpiade Athena 2004 dan juara dunia 2005 itu tidak ingin segera pergi ke sana. Taufik memilih menahan diri dan menolak panggilan pemusatan latihan nasional. Dia gerah dan meradang lantaran Mulyo Handoyo, pelatihnya, tidak ikut dipanggil. Persatuan Bulu Tangkis Seluruh Indonesia hanya memanggil Hendrawan sebagai satu-satunya pelatih tunggal putra.

Ini bukan yang pertama menantu Agum Gumelar itu berulah. Pada pengujung 2003, Taufik meninggalkan Cipayung dan berlatih di luar lantaran terlibat perang dingin dengan Joko Suprianto, pelatihnya. Dua bulan kemudian dia kembali ke Cipayung setelah memperoleh pelatih baru, yang juga pelatih lamanya, Mulyo Handoyo. Sebelumnya, pada awal Januari 2002, yang terjadi lebih gawat lagi: Taufik mengancam pindah ke Singapura.

Saya tidak dalam posisi membela Taufik. Saya senang-senang saja jika dia berulah. Taufik—lahir di Bandung, 10 Agustus 1981—adalah sedikit dari pebulu tangkis yang berani mengatakan tidak, temperamental, juga kontroversial. Ini memang kedengarannya menyebalkan. Tapi Opik—nama kecil dalam keluarganya—tidak boleh dicegah. Kalau bukan kepala batu, bukan Opik namanya.

Persoalan Taufik, agaknya, tidak jauh-jauh dari siapa yang mendampinginya. Dia tidak pernah mengusik, misalnya, konsep Pelatnas Cipayung yang sudah berjalan selama 16 tahun itu. Dia juga tidak pernah merusak kemesraan yang lama terbentuk di Cipayung. Ayah Natarina Alika Hidayat—buah hati perkawinannya dengan Ami Gumelar—itu hanya ingin mencintai bulu tangkis. Jangan pernah membangunkan Taufik ketika dia sedang bermimpi ingin meraih gelar juara All England yang hingga kini belum bisa diraih itu.

Sekali lagi saya tidak dalam posisi membela Taufik. Di balik pembangkangannya itu, saya hanya melihat PBSI sebagai pemegang otoritas bulu tangkis nasional tidak konsisten, tebang pilih, dan tidak mampu mencabut berbagai kepentingan di dalamnya. Ketua umum boleh berganti, tapi persoalan yang ada tetap sama.

Jauh sebelum Taufik mempersoalkan siapa pendampingnya, pemain sudah mendapat kebebasan dan boleh memilih pelatih sendiri. Ini terlihat ketika Indonesia mempersiapkan tim Piala Thomas dan Piala Uber pada 1984 di Kuala Lumpur. Membolehkan pemain menentukan siapa pelatihnya seolah tertutupi dengan semangat merebut kembali Piala Thomas dari Cina dan Piala Uber dari Jepang. Liem Swie King dan Hastomo Arbi, waktu itu, memilih Tan Joe Hok sebagai pelatih. Di dalam tim masih ada Icuk Sugiarto, Christian Hadinata, Hadiyanto, Kartono, Heryanto, dan Hadibowo Sutanto.

Indonesia mampu meraih kembali Piala Thomas dari Cina (sebelum direbut Cina, Indonesia pemegang tujuh kali Piala Thomas dan sekali diselingi Malaysia yang merebutnya pada 1967). Tidak ada persoalan siapa yang menjadi pelatih dan “kebebasan” itu tak mengganggu kehangatan tim. Sebelumnya, ketika Icuk Sugiarto meraih gelar juara dunia 1983 di Denmark, dia didampingi Tahir Djide. Liem Swie King yang dilibas Icuk di final bersejarah itu, waktu itu sudah dipegang Joe Hok.

Satu pelatih yang menangani satu sektor, menurut hemat saya, sangat riskan. Taufik tentu saja punya beragam alasan hanya ingin ditangani Mulyo Handoyo. Jika PBSI membuat “perdamaian”, tentu saja tidak akan melemahkan organisasi bulu tangkis itu. Sepanjang 1990 hingga 1996, misalnya, Pelatnas Cipayung pernah diisi tiga pelatih sekaligus, yaitu Tong Sin Fu, Indra Gunawan, dan Triaji (almarhum). Tengok saja Alan Budikusuma ditangani Tong, Joko Suprianto dipegang Triaji, dan Indra mendampingi Haryanto Arbi. Dalam rentang waktu ini, masih ada Ardy B. Wiranata, Hermawan Susanto, dan Eddy Kurniawan.

Sejarah bulu tangkis Indonesia begitu indah dan manis untuk dikenang. Namun, keindahan itu tidak akan terkikis hanya karena ada persoalan Taufik. Dia seharusnya dijemput dan jangan biarkan dia menikmati bebek panggang di luar Cipayung. Tempe bacem yang selalu menjadi menu makan siang atlet di Pelatnas Cipayung juga harus dirasakan Taufik. Sangat bijaksana jika kita melihat sikap-sikap kontroversial Taufik adalah kekuatan di dalam dirinya, kekuatan yang bisa kita tuntut balik menjadi sebuah prestasi.

Cipayung seharusnya dibasahi keringat Taufik Hidayat.

(Koran Tempo, Minggu, 11 Januari 2009, Ilustrasi Gaus Surahman)