Tag

, , , , , , ,

Yon Moeis
Wartawan Koran Tempo

boaz-tribunTidak ada yang boleh berpaling dari Boaz Solossa. Juga ketika Benny Dolo mempersiapkan tim nasional ke Piala AFF 2008, Desember mendatang. Benny memanggil Boaz ketika striker Persipura itu kembali bersinar.

Boaz–sejak 1 Juni 2007 “menghilang” selama hampir satu tahun–sudah kembali dan, dari 17 partai yang dipanggungkan Persipura di Liga Super musim ini, Boaz sudah melesakkan sembilan gol. Jumlah gol yang, karena itu, tidak satu pun boleh berpaling darinya, juga Benny Dolo.

Persoalannya, Boaz pernah mengalami trauma yang mendalam bersama tim nasional, yang membuat pemanggilannya terasa alot. Mutiara dari Sorong ini tidak langsung memberikan jawaban pasti ketika manajemen tim nasional menariknya kembali ke Jakarta. Memang tidak ada penolakan. Tapi Boaz membetot perhatian banyak orang dan mengundang polemik jika pemanggilannya dikaitkan dengan traumanya.

Boaz Theofilus Erwin Solossa–lahir di Sorong, 16 Maret 1986–pernah tergolek tak berdaya. Bahkan ada yang mengatakan kariernya bakal berakhir ketika adik Ortizan Solossa ini ditebas Koon Pong Luk pada menit ke-70 ketika tim nasional beruji coba dengan Hong Kong di Stadion Gelora Bung Karno, 1 Juni 2007.

Boaz mengalami patah tulang fibula atau tulang betis dan menjalani operasi, satu hari setelah peristiwa pada sore yang cerah itu, yang membuat hatinya remuk. Boaz kemudian hanya jadi penonton ketika tim nasional tampil di Piala Asia 2007. Waktu itu, Ivan Venkov Kolev, pelatih tim nasional, sangat bersedih. Boaz, anak kesayangannya, tergolek tak berdaya.

Dari sini kemudian persoalan muncul. Kasus cederanya Boaz bukan kasus biasa. Dia cedera ketika Indonesia mempersiapkan tim ke Piala Asia, yang digelar sebulan penuh pada Juli 2007. Sekalipun manajemen tim nasional sudah menegaskan akan menanggung biaya perawatan hingga ia sembuh seratus persen, masalahnya tidak lantas berhenti di sini. Boaz cedera, PSSI menanggung.

Tentu saja tidak. Cedera Boaz telah memberi kita pelajaran dan pengalaman bagaimana melindungi pemain, terutama yang tercatat sebagai pemain nasional. Boaz atau siapa pun hendaknya tidak hanya mendapat perlindungan kesehatan, tapi juga perlindungan hukum ketika hak-haknya sebagai pemain tidak akan pernah hilang sekalipun pemain yang bersangkutan sedang berkutat dengan cedera.

Klub atau pengelola tim nasional, dalam hal ini PSSI, sudah pasti membuat ikatan-ikatan dalam selembar surat kontrak prestasi dengan pemain. Tapi, jika cedera Boaz masih mengganjal dan membuatnya trauma, berarti ada yang salah dalam manajemen tim nasional. Kita tak bisa lagi bicara saling menguntungkan antara pengelola–klub atau manajemen tim nasional–dan pemain. Pemain dipanggil dan dipulangkan begitu saja ketika mengalami cedera.

Saya tidak hendak menakar kadar trauma Boaz ketika itu dimunculkan pada saat tim nasional membutuhkan hati dan kakinya. Sungguh tak elok ketika kita harus mengungkit-ungkit kembali suasana hati Boaz dulu. Pembentukan tim nasional jauh lebih penting ketimbang memanas-manasi Boaz sehingga dia menolak panggilan Benny Dolo.

Kini Boaz bukan hanya milik Persipura, juga bukan hanya milik rakyat Papua. Dia sudah menjadi milik kita dan harus mendapat perhatian penuh sebagai pemain nasional seperti dia mendapat sentuhan sang bunda ketika Boaz menjalani perawatan di Apartemen Rasuna, Kuningan, beberapa hari setelah menjalani operasi.

Merry Solossa, ibunya, waktu itu, sempat-sempatnya mengirim masakan ikan teri. Ikan teri yang berwarna putih bersih itu–di Sorong, di tanah kelahiran Boaz, disebut ikan puri–kesukaan Boaz. “Saya harus membeli teri dari Sorong untuk membuat masakan kesukaan Boaz.”

Boaz, kami menunggu aksimu.

(Koran Tempo, Minggu, 2 Nopember 2008, Ilustrasi Gaus Surahman)